Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Silsilah Keturunan Arya Sentong Di Puri Ageng Perean


Raja Janggala Sri Jayasabha bergelar Sri Maharaja Mapanji Gerasakan atau Sri Maharaja Akanjung Ayes di Jawa menurunkan sad sanak (enam bersaudara), yaitu Raden Cakradara, Arya Damar juga disebut Arya Teja atau Raden Dilah alias Kyayi Nala, Arya Kenceng, Arya Kuthawaringin, Arya Sentong, dan Arya Pudak alias Arya Belog. Kemudian Kerajaan Janggala berubah menjadi Kahuripan atau Singasari, dan Raden Cakradara kawin dengan Raja Majapahit III Sri Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnu Wardani, kemudian bergelar Sri Kerthawardhana.




Arca Gajah Mada

Pada tahun saka 1265 Kerajaaan Majapahit menyerang Kerajaan Bali, dan pasukan Majapahit dipimpin Mahapatih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada, dibantu oleh beberapa orang pimpinan pasukan Majapahit, diantaranya Arya Sentong. Dalam peperangan tersebut dimenangkan oleh angkatan perang Majapahit. Sesudah berhasil Bali ditundukkan, seluruh anggota angkatan perang Majapahit kembali ke kerajaan Majapahit.

Akan tetapi untuk menghindari terjadinya kekosongan pemerintahan dipulau Bali, para ksatrya Kediri kembali diutus oleh Gajah Mada datang ke Bali mendampingi Mpu Sona Kepakisan bergelar Dalem Kresna Kepakisan (Ida Dalem) ditunjuk Majapahit menjadi raja dipulau Bali (Gelgel).

Untuk menjaga keamanan pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan di Bali, beberapa orang pimpinan pasukan Majapahit diangkat sebagai Anglurah dibeberapa tempat;
Sirarya Kenceng didaerah Tabanan
Sirarya Kutawaringin didaerah Gelgel
Sirarya Sentong didaerah Pacung (Gelgel).
Sirarya Kepakisan didaerah Abiansemal
Sirarya Benculuk didaerah Tangkas
Sirarya Belog didaerah Kaba-Kaba.Sirarya Sentong Memakai Nama Sebutan I Gusti Ngurah Pacung
Semenjak bertempat tinggal didaerah Pacung, Sirarya Sentong memakai sebutan I Gusti Ngurah Pacung.
Pemerintahan Ida Dalem didampingi I Gusti Ngurah Pacung di Gelgel mencapai puncak kesejahteraan tata tenteram kertha raharja.


I Gusti Ngurah Pacung Diasingkan Ke Nusa Penida
Rupanya kedekatan dan keakraban I Gusti Ngurah Pacung bersama Ida Dalem mengundang kecemburuan pihak lain. Lalu muncul propokasi yang melansir berita bahwa I Gusti Ngurah Pacung berkeinginan memberontak, merebut kekuasaan Ida Dalem.
Tanpa memeriksa kebenarannya, Ida Dalem mempercayai imformasi tersebut dengan mengasingkan I Gusti Ngurah Pacung ke Nusa Penida.

Kurang lebih setahun kemudian, Ida Dalem merasa kesepian tanpa adanya I Gusti Ngurah Pacung di kerajaan Gelgel. Lalu mengirimkan utusan ke Nusa Penida agar I Gusti Ngurah Pacung bersedia kembali ke Gelgel.

Tetapi I Gusti Ngurah Pacung tidak berkenan kembali Gelgel dan memilih akan pergi ke Majapahit.I Gusti Ngurah Pacung berpesan kepada utusan Ida Dalem bahwa dimana pun beliau berada, akan tetap setia dan bhakti kepada Ida Dalem.


Atas sabda Ida Bhatara Kala, I Gusti Ngurah Pacung tetap Berada di Bali.
I Gusti Ngurah Pacung sudah membulatkan tekadnya akan pergi ke Majapahit. Ditengah perjalanannya dipesisir pantai lebih (Gianyar), I Gusti Ngurah Pacung dicegat oleh Sanghyang Parama Wisesa Bhatara Kala menyuruhnya supaya tetap berada di Bali.
I Gusti Ngurah Pacung dianugerahi siung (taring) nya sebelah kiri sebagai senjata sakti yang bernama
I Ulang Ulang Guguh.

Ida Bhatara Kala bersabda:
" Kamu Pacung inilah selaku senjatamu dalam perjalanan dan aku peringatkan kepadamu membawa senjata ini, didalam perjalanan sama sekali kamu tidak boleh minggir !.
Selesai bersabda Ida Bhatara Kala menghilang.

Berbekal senjata anugerah Bhatara Kala, I Gusti Ngurah Pacung mengurungkan niatnya untuk pergi ke Majapahit. Dengan pingiringnya beliau berjalan menuju kearah Bali tengah.

I Gusti Ngurah Pacung Berjumpa Dengan I Gusti Ngurah Jelantik

Setibanya disebelah utara Bedahulu I Gusti Ngurah Pacung berpapasan dengan I Gusti Ngurah Jelantik penguasa daerah Blahbatuh. Bersama pasukannya menyuruh agar I Gusti Ngurah Pacung minggir. Namun I Gusti Ngurah Pacung sama sekali tidak menghiraukan permintaan tersebut. Sehingga terjadi pertengkaran antara I Gusti Ngurah Pacung dengan I Gusti Ngurah Jelantik.

Karena masing-masing bertahan tidak mau minggir, menimbulkan emosi kedua belah pihak.I Gusti Ngurah Jelantik memerintahkan pasukannya mengeroyok I Gusti Ngurah Pacung.
I Gusti Ngurah Pacung terdesak, dengan cepat mengeluarkan senjata anugerah Bhatara Kala dan mengacungkannya. Mengakibatkan pasukan I Gusti Ngurah Jelantik jatuh tersungkur, tidak berkutik.

Hal itu menimbulkan amarah I Gusti Ngurah Jelantik. Terjadilah perang tanding antara I Gusti Ngurah Jelantik dengan I Gusti Ngurah Pacung.
Saling tusuk dengan senjata, namun tidak sedikitpun tubuh mereka ada yang terluka. Hingga mereka merasa kelelahan.

I Gusti Ngurah Jelantik merasa heran dan bertanya kepada I Gusti Ngurah Pacung:
Hai kamu siapa! siapa sebenarnya kamu ini, sangat sakti dan tangguh?

I Gusti Ngurah Pacung segera menjawab;
Aku I Gusti Ngurah Pacung berasal dari desa Pacung dan kamu siapa?


Dijawab oleh I Gusti Ngurah Jelantik:Aku I Gusti Ngurah Jelantik penguasa Blahbatuh.

I Gusti Ngurah Pacung berkata;
Kalau demikian bahwa kamu bersaudara denganku, hentikan bertarungan ini!

Pertarunganpun dihentikan, lalu mereka mengadakan pembicaraan serius disertai makan sirih dan dilanjutkan menyantap hidangan.


I Gusti Ngurah Pacung Pacung berkata kepada I Gusti Ngurah Jelantik:I Gusti Ngurah Jelantik marilah kita sekarang tukarkan ikat pinggang (saput) kita masing-masing!
Poleng milik Jelantik saya yang memakai dan putih milik saya Jelantik yang memakai.
Ini jadikan peringatan, mulai saat ini sampai nanti antara keturunan I Gusti Ngurah Pacung dengan I Gusti Ngurah Jelantik agar tidak ada peperangan.

Sesudah merasa cukup waktu, I Gusti Ngurah Pacung mohon permisi untuk melanjutkan perjalanannya. Daerah tempat kejadian pertarungan I Gusti Ngurah Pacung dengan I Gusti Ngurah Jelantik, dikenal dengan nama Marga Sengkala.

I Gusti Ngurah Pacung Tiba Di Daerah Kekeran.
Diceritakan I Gusti Ngurah Pacung bersama pengiring meneruskan perjalanan menuju ke arah barat, masuk hutan keluar hutan naik bukit turun bukit. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, banyak daerah atau tempat yang sudah dijumpai dan pernah dijadikan persinggahan oleh I Gusti Ngurah Pacung.

Seiring cepat berjalannya waktu, beliau bersama pengiringnya tiba di suatu daerah bernama Kekeran.
I Gusti Ngurah Pacung menancapkan tetekenan/tongkat kayu ditanah tempatnya berpijak. Pada waktu beliau hendak mencabut tetekenannya dari tanah, tiba-tiba tetekenan tersebut patah.

I Gusti Ngurah Pacung merasa heran dan berkata kepada pengiringnya;
'Tanah disini amat shakti, bisa mematahkan tetekenan yang aku bawa dari bumi Nusa Penida'.

Beberapa hari kemudian terjadi keajaiban, patahan tetekenan milik I Gusti Ngurah Pacung yang masih tertancap ditanah tersebut tumbuh hidup. Semakin hari makin cepat pertumbuhannya, hingga menjadi pohon besar.

Berdasarkan hasil semadi yang telah diperoleh I Gusti Ngurah Pacung, ditempat tersebut didirikan pelinggih yang diberi nama Pura Shakti.

Adapun mukzisat dari pohon yang ada di Pura Shakti itu adalah apabila ada rakyat pengiring beliau yang menderita sakit, akan cepat sembuh jika sudah diberikan minum air wangsuh pohon tersebut.

Selama tiga (3) tahun tinggal di daerah Kekeran, atas berkah Hyang Parama Kawi dan Ida Bhatara di Pura Shakti, kewibawaan I Gusti Ngurah Pacung bertambah meningkat. Oleh karenanya semua rencana berjalan mulus dan berhasil guna. Beliau sangat memperhatikan segala jeritan penderitaan rakyat. Daerah Kekeran tampak semakin asri dan cerah serta rakyatpun bergairah.

Namun I Gusti Ngurah Pacung belum merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya saat itu, beliau memutuskan pergi dari daerah Kekeran kembali melanjutkan perjalanannya mengembara. Dengan hanya membawa sebagian rakyat pengiringnya, berjalan menuju ke arah utara menjelajahi semak belukar dan sungai.

Perjalanan Pengembaraan I Gusti Ngurah Pacung Berakhir Didaerah Perean.
Setelah sekian lama mengembara, I Gusti Ngurah Pacung menemukan daerah yang alamnya sangat sejuk nan indah, dialiri air sungai yang jernih. Menoleh ke utara tampak gunung yang biru.
Didaerah tersebut I Gusti Ngurah Pacung amat merasakan kedamaian.

I Gusti Ngurah Pacung mengambil keputusan untuk mengakhiri pengembaraannya.
Dengan memberikan nama daerah tersebut Perean atau Perariyan,
berarti; Jenek = berhenti=berakhir,
yaitu; tempat berakhirnya pengembaraan I Gusti Ngurah Pacung/Arya Sentong.

I Gusti Ngurah Pacung Membangun Puri Dilengkapi Merajan Agung Dan Dinobatkan Menjadi Raja Perean.
Keraton/Puri Perean pun dibangun sebagai pusat tempat pemerintahan.
Dengan sukat/ukuran:12 Depa Agung Atinjakan Tikel, Prabu Nyakra Wreti (1) Depa Agung Atinjakan Tikel, Singa Ngraksa (1) Depa Agung Belah Dada, Bakti Petandakan, 33 Depa Agung Atinjakan, Prawireng Keprabon.
Setelah selesai dibangun diadakan Upacara Karya Memungkah Agung, Tawur Manca Wali Krama Nawa Ratna Narmada Bhuana.


Membangun Pemerajan Agung dengan konsep Panca Dewata, terdapat pelinggih utama berupa Meru Tumpang Lima.
Di Pemerajan Agung Perean, I Gusti Ngurah Pacung menghaturkan upacara Karya Ngenteg Linggih Candi Narmada,
Warsa: Candra (1) Geni (3) Dewa (9) Gajah (8) = 1398.
Dipuput oleh; Bhagawanta Kediri, Brahmana Buda Wanakeling Mpu Sidhi Mantra.
Sekarang Pemerajan Agung Perean, lebih dikenal dengan nama Pura Agung Perean.


Pura Agung Perean (Merajan Agung Perean)

Menurut lontar Candra Geni Sangkala Raja Purana Puri Perean, 
I Gusti Ngurah Pacung dinobatkan menjadi raja PereanNgabiseka Ratu, warsa: C. Surya (1) Geni (3) Rasa (6) Geni (3) = 1363


Para pengabih Raja Perean adalah;
Ki Pasek Gelgel
Ki Bendesa
Ki Kubayan
Ki Bujangga
Ki Pasek Gaduh
Ki Pasek Tangkas
Ki Pasek Kubakal
Ki Pasek Ngukuhin
Ki Pasek Kedangkan
Ki Pasek Badung
Ki Pasek Dukuh Suladri

Pembagian tempat untuk Panjak (rakyat) kerajaan Perean;
Panjak bhakti yang menghaturkan raga/diri, ditempatkan di Perean
Panjak keturunan Panca Rsi, ditempatkan di Puseh
Panjak tunggal keturunan, ditempatkan di Penyucuk
Panjak dari Rabi Prami, ditempatkan di Bunyuh
Panjak dari pengumbangan, ditempatkan di Selat
Panjak paling bhakti, ditempatkan di Tuka
Panjak kuat dan kebal, ditempatkan di Kukub
Panjak punya jasa besar, ditempatkan di Berteh
Panjak berpengetahuan alam gaib, ditempatkan di Leba
Panjak andalan berbagai bidang, ditempatkan di Beluangan
Panjak Pekemit, ditempatkan di Piun

Batas wilayah kekuasaan Kerajaan Perean ialah;

Disebelah utara Toya Ketipat
Disebelah barat sungai / Tukad Yeh Pana
Disebelah selatan pesisir Pantai Bolong
Disebelah timur sungai / Tukad Ayung 

Sarana Keagamaan Menjadi Perhatian Utama Ida I Gusti Ngurah Pacung
Sebagai seorang raja, Ida I Gusti Ngurah Pacung sangat taat akan ajaran agama serta sangat percaya akan kekuatan niskala. Oleh sebab itu beliau aktif membangun sarana keagamaan.
Salah satunya membangun Pura Pucak Bukit Gede sebagai dasar tumpuan tegaknya Kerajaan Perean.


Gedong Madu Pura Puseh Desa Perean
Dihalaman Pura Pucak Bukit Gede berdiri tegak pelinggih Meru bertumpang lima menghadap ke barat. Melalui Pura Pucak Bukit Gede inilah Ida I Gusti Ngurah Pacung memohon kehadapan Ida Bhatara Gunung Agung agar beliau dan rakyat dianugerahkan kesentosaan dan kemakmuran.

Kemudian di jagat Perean didirikan Pura Puseh Desa Perean dan memperluas pelataran Pura Yeh Gangga.
Anugerah Yang Diperoleh Ida I Gusti Ngurah Pacung Dalam Bertapa
Soma-Kliwon-Landep, di Pura Pucak Bukit Gede, dianugerahi keris luk 9 bernama Ki Jayeng Rana.
Redite-Umanis-Bala, dianugerahi Batu Bolong
Weraspati-Kliwon/menjelang Tilem, dianugerahi aksara dan soca
Buda-Wage/menjelang Purnama, dianugerahi Tungked/tongkat
Soma-Umanis, di Teratai Bang dan Pucak Bukit Sangkur dianugerahi Siwamba
Soma-Umanis, di Pura Ulun Danu Beratan dianugerahi Manik Yeh
Di Bukit Kayu Sugih, dianugerahi Watu Bumi
Di Pura Pucak Rencani, dianugerahi Lontar tan pa tulis
Anggara Kasih-Perangbakat, dianugerahi Lontar Cakepan
Di Pura Batu Lumbang, dianugerahi Panugrahan Tika.Penerus Kerajaan Perean
Setelah Ida I Gusti Ngurah Pacung mangkat, tahta kerajaan Perean jatuh kepada putera beliau yang bernama I Gusti Ngurah Gede Raka Pacung.
Ida I Gusti Ngurah Gede Raka Pacung berputera I Gusti Ngurah Putu Pacung.
Ida I Gusti Ngurah Putu Pacung berputera I Gusti Ngurah Pacung Gede.

Ida I Gusti Ngurah Pacung Gede berputera;
  1. I Gusti Ngurah Pacung Shakti
  2. I Gusti Ngurah Buleleng
  3. I Gusti Ngurah Babahan
  4. I Gusti Ngurah BayanI

Gusti Ngurah Pacung Shakti Dinobatkan Menjadi Raja Perean
Setelah Raja Perean/Ida I Gusti Ngurah Pacung Gede wafat, I Gusti Ngurah Pacung Shakti ditetapkan menjadi Raja Perean. Sedangkan I Gusti Ngurah Buleleng diangkat menjadi Tunggulyuda di Sembung. I Gusti Ngurah Babahan memerintah di Babahan, dan I Gusti Ngurah Bayan mengungsi ke Den Bukit (sekarang Buleleng).

I Gusti Ngurah Pacung Shakti Beristrikan Putri Dari Arya Beleteng
Pada masa pemerintahan I Gusti Ngurah Pacung Shakti ada seseorang berasal dari Pinatih bernama Arya Beleteng menghaturkan anaknya yang semata wayang seorang perempuan bernama Gusti Luh Pinatih untuk dijadikan istri/permaisuari kepada I Gusti Ngurah Pacung Shakti.

Atas budi baik Arya Beleteng tersebut, raja Perean/I Gusti Ngurah Pacung Shakti mengangkatnya sebagai patih serta diberikan rumah tinggal di Puri Perean. Arya Beleteng juga diijinkan membuat Pemerajan tempat pemujaaan leluhur, berada disebelah barat Pemerajan Agung Puri Perean.

Kisah I Belang Huyang, Anjing Kesayangan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti
Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti mempunyai seekor anjing yang diberi nama I Belang Huyang. Sebab bulunya berwarna belang, selalu berubah-ubah menurut cahaya matahari. Oleh karenanya I Belang Huyang sangat disayang dan diandalkan dalam setiap berburu oleh Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti.

Pada suatu hari Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti sedang bersantap, seperti biasa I Belang Huyang selalu taat berada disampingnya. Tiba-tiba I Belang Huyang melihat seekor kelesih/trenggiling diatas tembok. Melihat binatang itu, I Belang Huyang melompat menghalau kelesih diatas tembok. Tetapi tanpa sengaja I Belang Huyang jatuh diatas santapan. Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti murka, lalu melempar tombak kearah I Belang Huyang. I Belang Huyang terbunuh oleh Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti.

Setelah I Belang Huyang mati, Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti tersadar akan kekeliruannya. Beliau melihat ada kelesih/trenggiling diatas tembok. Ternyata I Belang Huyang berbuat demikian disebabkan bermaksud menghalau kelesih. Beliau bersedih karena telah membunuh I Belang Huyang yang tidak berdosa.

Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menyuruh para abdinya menguburkan I Belang Huyang diatas tebing ujung selatan jagat Perean. Melalui prosesi upacara lazimnya manusia, yaitu lengkap dengan Tirta Pengelepas, sarwa prani.
Yang istimewa dalam penguburannya, I Belang Huyang dibekali satu rangsuk pakaian dan satu barung Gong/gamelan.
Tempat I Belang Huyang dikubur diberi nama Margalangu.

Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti Mengangkat I Papak ( Keturunan Pemecutan) Sebagai Patih
Tersebutlah didesa Sobangan berdiam seorang keturunan raja Pemecutan Badung, bernama Arya Ungasan. Karena sesuatu hal, nyineb wangsa/tidak berhak lagi memakai gelar kebangsawanannya.
Arya Ungasan mempunyai anak bernama I Papak, sehari-hari pekerjaannya mengembalakan sapi.

Pada saat I Papak mengembalakan sapi-sapinya di alas wayah sebelah utara Cau, ia mendengar suara aneh;
Senangkah kamu Papak?

Mendengar ada suara demikian, I Papak menoleh kesana kemari. Tiada seorangpun yang dilihatnya disana, dan ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Besoknya I Papak kembali mengembalakan sapinya di tempat yang kemarin. Terdengar lagi suara yang sama seperti kemarin. I Papak memperhatikan kearah datangnya suara tersebut, tidak tampak juga manusia yang terlihat. Lalu ia pun kembali pulang mengantar sapi-sapinya.

Keesokan hari diulangnya sekali lagi mengembalakan sapinya ditempat yang sama. Tiba-tiba terdengar suara memanggil-manggil namanya.
I Papak bertanya;
Siapa sebenarnya yang berkata senangkah kamu Papak?' hendaklah diperlihatkan dirimu!.

Dan tiba-tiba muncul seorang nenek tua, kulit badannya bertutul-tutul.
Nenek tua tersebut berkata:
'Jika kamu menghendaki kebahagiaan, nanti akan ada 3 perempuan datang dari arah selatan, peganglah yang paling belakang kuat-kuat !'.
Selesai berkata demikian nenek tua itu menghilang.

Belum lama berselang , lewatlah tiga orang remaja putri dihadapannya. Dengan cepat I Papak menangkap dan memegang putri yang paling terakhir. Anehnya putri itu berubah menjadi sebuah Manik Astagina. Dan berbahagialah I Papak dengan Manik Astaginanya.

Beberapa hari kemudian di kerajaan Perean Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti mendapat kabar bahwa konon Arya Ungasan yang berdiam di Sobangan mempunyai seorang anak yang ukuran jari tangan dan kakinya sama rata memiliki Manik Astagina.
Orang yang menyampaikan kabar kepada Ida I Gusti Pacung Shakti itu berpendapat I Papak adalah seorang anak hebat yang pantas dijadikan abdi kerajaan.

Besoknya Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti mengirim utusan ke desa Sobangan untuk meminta I Papak kepada orang tuanya.
Arya Ungasan tidak berkeberatan anaknya diminta oleh Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti.
Di Puri Perean Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti memberikan I Papak tugas pekerjaan mengurus tanaman padi disawah. Setelah dewasa I Papak diangkat menjadi Patih.

Peristiwa Ki Dukuh Titigantung
Pada suatu hari Ki Dukuh Titigantung menyelenggarakan yadnya. Beliau mengundang semua sahabat kenalannya, tidak terkecuali Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti.
Saat hari jatuhnya pelaksanaan yadnya, Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti tidak bisa hadir memenuhi undangan Ki Dukuh Titigantung.

Keesokan harinya Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti berangkat berburu ke hutan. Tetapi ditengah hutan hingga matahari condong kearah barat tiada seekorpun beliau menjumpai binatang buruan. Tiba-tiba turun hujan deras disertai angin kencang. I Gusti Ngurah Pacung Shakti bersama pengiring segera mencari tempat untuk berteduh, yang kebetulan tiba dipedukuhan Ki Dukuh Titigantung. Kedatangan beliau bersama pengiringnya disambut gembira oleh Ki Dukuh Titigantung. Dengan membungkukan badan sebagai sujud bhakti, Ki Dukuh Titigantung mempersilahkan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti simpang (mampir) kepedukuhannya. Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menuruti permintaan Ki Dukuh Titigantung.

Semula Ki Dukuh Titigantung merasa ragu untuk menghaturkan suguhan makanan dan minuman kepada Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti. Disebabkan karena Ki Dukuh Titigantung baru kemarinnya dipedukuhan selesai melaksanakan yadnya. Ki Dukuh Titigantung merasa takut nanti disangka suguhan yang dihaturkan nanti suguhan dari surudan (bekas yadnya ).
Namun Ki Dukuh Titigantung tetap memberitahu istrinya untuk mempersiapkan suguhan untuk Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti.

Setelah siap dihidangkan, Ki Dukuh Titigantung mempersilahkan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menyantapnya. Dengan penjelasan bahwa walaupun ia baru saja menyelenggarakan yadnya, suguhan yang dihaturkan kepada Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti adalah sukla (baru). Mustahil rasanya Ki Dukuh Titigantung tidak mengerti aturan sampai hati menghaturkan makanan dan minuman surudan (bekas yadnya) kepada seorang raja.

Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menyampaikan ucapan terima kasih atas kebaikan Ki Dukuh Titigantung.
Oleh karena hari sudah sore dan hujan sudah reda, Ki Dukuh Titigantung mempersilahkan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti untuk kembali pulang ke Puri Perean. Khawatir nanti jangan sampai kemalaman ditengah jalan.
Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti bersama pengiringnya berangkat meninggalkan pedukuhan Ki Dukuh Titigantung.

Diceritakan rombongan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti telah tiba di Puri Perean. Kedatangan beliau disambut oleh permaisuri/Ni Gusti Luh Pinatih. Sebagaimana seorang istri, Ni Gusti Luh Pinatih menghidangkan makanan santap malam. Namun Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti tidak berkenan makan, dengan alasan masih kenyang. Karena beliau baru saja selesai bersantap di pedukuhan Ki Dukuh Titigantung.

Mendengar jawaban Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti demikian, membuat Ni Gusti Luh Pinatih sangat marah dan mengumpat serta menuduh Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti telah menyantap hidangan dari surudan bekas yadnyanya Ki Dukuh Titigantung.

Sepontan saja tuduhan itu dibantah oleh Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti, karena tahu betul bahwa bahan-bahan hidangan yang dihaturkan Ki Dukuh Titigantung kepada beliau adalah bahan-bahan baru (sukla), bukan dari surudan (bekas yadnya). Tetapi Ni Gusti Luh Pinatih tetap bersitegang tidak mau percaya, sampai-sampai mengatakan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti telah cemer atau tercoreng noda.

Ni Gusti Luh Pinatih berkali-kali memohan kepada Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti agar segera membunuh Ki Dukuh Titigantung yang telah berani mencoreng nama baik seorang raja. I Gusti Ngurah Pacung Shakti merasa berat hati dan berdosa apabila sampai menuruti kemauan Ni Gusti Luh Pinatih. Namun karena terus didesak oleh permaisurinya, akhirnya Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti memerintahkan orang kepercayaannya untuk menghabisi nyawa Ki Dukuh Titigantung.

Serta merta datanglah utusan raja Perean kepedukuhan Ki Dukuh Titigantung, lengkap dengan pusaka. Utusan tersebut menyampaikan maksud kedatangannya yang akan membunuh Ki Dukuh Titigantung.
Ki Dukuh Titigantung menjawab dengan tenang bahwa sesungguhnya tidak semudah itu menghabisi nyawanya. Demi memenuhi kehendak raja Perean, Ki Dukuh Titigantung pasrah.

Dengan permintaan sebelum dibunuh, supaya diberikan kesempatan melaksanakan persembahyangan di Pemerajan. Dalam persembahyangannya Ki Dukuh Titigantung berpakaian serba putih. Memohon kehadapan Sang Pencipta, agar nantinya setelah dia meninggal dunia memperoleh tempat layak sesuai dengan karmanya.

Ki Dukuh Titigantung mengeluarkan kutukan kepada yang menginginkan kematiannya;
'Bahwa sampai tujuh (7) keturunan nanti, akan menemui keruntuhan".

Selesai berkata demikian Ki Dukuh Titigantung menyerahkan keris kepunyaannya yang bernama keris Baru Bantal kepada utusan raja Perean, untuk dipakai membunuh dirinya. Karena tanpa menggunakan keris Baru Bantal kepunyaannya, Ki Dukuh Titigantung tidak akan mungkin dapat dibunuh.

Diceritakan setelah Ki Dukuh Titigantung terbunuh, utusan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti telah tiba di Perean. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi dipedukuhan sambil menyerahkan keris Baru Bantal kepunyaan Ki Dukuh Titigantung.

I Gusti Ngurah Pacung Shakti menyesali peristiwa tersebut dan bersumpah,
kelak semua keturunannya nanti akan sujud di Pemerajan milik Ki Dukuh Titigantung.

Lahirnya Putra Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti Yang Bernama Ida Arya
Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti mempunyai seorang wang jero (pelayan istana) bernama Ni Luh Jepun keturunan dari Ki Pasek Balangan, oleh beliau kemudian dijadikan istri penawing.

Pada waktu Ni Luh Jepun mengandung jabang bayi, neraca kesayangan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti kurang stabil terhadap permaisuri /Ni Gusti Luh Pinatih. Menyebabkan Ni Gusti Luh Pinatih cemburu dan sakit hati.

Suatu hari tatkala Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti sedang tidak berada di Puri, Ni Gusti Luh Pinatih mengusir Ni Luh Jepun supaya pergi dari Puri Perean, pulang kerumahnya. Ni Luh Jepun segera meninggalkan keraton Perean, dengan tujuan pulang kerumahnya. Namun sesampainya dijaba Puri, Ni Luh Jepun berjumpa Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti yang menyuruhnya kembali masuk kedalam Puri. Ni Luh Jepun tidak berani menolak perintah Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti, lalu bergegas masuk ke Puri.

Tidak dikisahkan malampun tiba, Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menjadi bingung dan tidak tenang memikirkan keadaan Puri serta permasalahan istri-istrinya. I Gusti Ngurah Pacung Shakti membuat kebijaksanaan demi tercegahnya kekacauan.

Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menyerahkan Ni Luh Jepun yang telah hamil kepada I Papak untuk pura-pura menjadikannya sebagai istri.
Setelah dilukat/disucikan oleh Ida Pedanda Batu Lumbang, I Papak mengajak Ni Luh Jepun menetap didesa Marga.

Beberapa bulan kemudian Ni Luh Jepun melahirkan seorang putra laki-laki.
Tepatnya; sasih Kawolu-bulan terang-hari ketiga.
Anak tersebut diberi nama Ida Arya.

Pada waktu Ida Arya berumur 1 bulan 7 hari (42 hari), I Papak meninggal dunia.
Ida Arya berumur 7 bulan, Ni Luh Jepun menyusul meninggal dunia. Ida Arya pun menjadi anak yatim piatu.
Ida Arya diasuh oleh pemekel Marga, dengan diupacarai sebagaimana seorang bangsawan.

Ida Arya Berada Di Puri Perean
Berita tentang Ida Arya sampai ketelinga Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti. Tanpa berpikir panjang beliau mengirim orang kepercayaan ke desa Marga, menyuruh pemekel/penuha Marga agar segera membawa Ida Arya ke Puri Perean. Tidak dikisahkan dalam perjalanan, penuha Marga bersama Ida Arya telah tiba di Puri Perean.
Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti menyambut kedatangan Ida Arya dengan hati gembira.

Malam harinya disaat Ida Arya tidur bersama anak-anak permaisuari/Ni Gusti Luh Pinatih diemper gedong, kelihatan ada sinar menyala diantara salah satu anak-anak yang tidur tersebut. Karena suasana dalam keadaan gelap gulita, Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti memberikan tanda kapur sirih dahi anak yang bercahaya tersebut.

Keesokan pagi harinya diketahui bahwa dahi Ida Arya yang berisi tanda kapur sirih. Semenjak itu Ida Arya disayang oleh Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti. Di Puri Perean Ida Arya ditugaskan sebagai tukang sirih, sambil belajar tata tertib dan aturan-aturan Puri. Dengan harapan apabila dikemudian hari dewasa, kelak Ida Arya pandai dalam pemerintahan. Demikianlah keinginan Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti.

Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti Moksah
Mungkin sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, diceritakan di Puri Perean terjadi huru-hara yang mengakibatkan wafatnya I Gusti Ngurah Pacung Shakti.
Setelah layon I Gusti Ngurah Pcung Shakti di Pendem / dikuburkan, malam harinya terjadi keajaiban. Tiba-tiba makam I Gusti Ngurah Pacung Shakti meledak pecah.

Dari dalam makam keluar Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti terbang berpakaian kain Geringsing Wayang dengan menunggangi seekor Naga Kahang. Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti mengenakan kain kancut sangat panjang sekali, sampai tersangkut pada batang pohon beringin di dusun Tuka (masih wilayah Perean).

Sosok Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti terlihat terbang menjauh tinggi, hingga akhirnya menghilang tak berbekas.
Dengan demikian dapat dipastikan I Gusti Ngurah Pacung Shakti atau Ida Bhatara Pacung Shakti telah menyatu dengan Ida Sanghyang Widi Wasa alias Moksah.

Keadaan Keraton Perean Setelah Moksahnya Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti
Dikisahkan setelah Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti moksah, seluruh putera-putera dari permaisuari/Ni Gusti Luh Pinatih pergi meninggalkan Jagat Perean.
  • I Gusti Ngurah Pacung Gede, menuju Payangan (berakhir di Carangsari), diiringi panjak 400 kepala keluarga.
  • I Gusti Ngurah Rai, ikut ke Payangan.
  • I Gusti Ngurah Bukian, menuju Subamia-Tabanan diiringi panjak 100 kepala keluarga.
  • I Gusti Ngurah Tauman, menuju Bukian (Payangan) berganti nama I Gusti Ngurah Bukian, diiringi panjak 200 kepala keluarga. 
  • I Gusti Gede Abiantubuh, menuju Ubud dengan diiringi panjak 200 kepala keluarga. 
  • I Gusti Nengah Abiantubuh, tinggal di Beluangan.

Dengan perginya seluruh putera-putera Ni Gusti Luh Pinatih meninggalkan jagat Perean, di Puri Perean menyisakan Ida Arya (putera Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti dari Ni Luh Jepun) seorang diri. Sebagai wujud bhaktinya kepada Ida Bhatara Leluhur, Ida Arya melaksanakan upacara Mahligia.

Ida Arya Oleh Rakyat Dinobatkan Menjadi Raja
Selesai melaksanakan upacara Mahligia, Ida Arya bermaksud akan pergi meninggalkan keraton Perean menuju desa Marga. Namun dijaba Puri beliau dicegat oleh rakyat, memohon kesediaan beliau untuk menjadi raja Perean.

Ida Arya tertegun dan bertanya;
Apakah kalian semua betul-betul menghendaki saya yang nista ini menjadi raja kalian?.
Rakyat Perean menjawab dengan serempak;
Ya, kami semua menerima baginda sebagai raja Perean,
Kesetiaan dan sujud bhakti kami kepada baginda bukan hanya dimulut saja, melainkan sampai ke lubuk hati paling dalam.
Apalagi baginda adalah satu-satunya putera Ida I Gusti Ngurah Pacung Shakti yang masih berada di Perean, kami percaya baginda akan mampu menciptakan kemakmuran dan perdamaian.

Mendengar akan pernyataan rakyat demikian, Ida Arya merasa sangat terharu bersedia memenuhi permintaan rakyat Perean. Akan tetapi karena beliau lahir dan dibesarkan di Marga, Ida Arya memilih memindahkan pusat pemerintahan Perean ke Marga dengan mendirikan kerajaan Marga atau Puri Uratmara.

Rakyat Perean dapat memaklumi akan hal tersebut yang tidak mempermasalahkan Ida Arya tidak berada di Perean.
Dengan berdirinya kerajaan Marga atau Uratmara, sejak saat itu daerah Perean tidak lagi sebagai pusat tempat pemerintahan.

Dalam pemerintahannya, Ida Arya mempunyai sifat yang konsukwen dan teguh pada pendirian serta adil. Sehingga aman dan tertib serta berkecukupan penghidupan rakyatnya

Ida Arya berputera empat (4) orang;

I Gusti Agung Balangan
I Gusti Wayan Geriya
I Gusti Anda
I Gusti CelukI Gusti Agung Balangan Menggantikan Ida Arya Menjadi Raja Marga.
Tidak terasa berjalannya waktu, Ida Arya telah memasuki usia lanjut. Beliau mewariskan kerajaan Marga kepada I Gusti Agung Balangan dengan didampingi I Gusti Wayan Geriya di Jro Taman Marga.
I Gusti Anda diberikan kekuasaan menjadi raja di Perean.
Sedangkan I Gusti Celuk (paling bungsu) tetap berada di Puri Marga.

Serah terima jabatan berjalan lancar, yang disaksikan para manca, patih, pemekel, dan rakyat.
Selesai memberikan wejangan kepada seluruh putera-puteranya, Ida Arya memohon ijin kepada seluruh rakyat Marga akan pergi ke Pura Pucak Padang Dawa untuk melaksanakan yoga semadi menyerahkan diri kepada Sanghyang Parama Kawi.

Karajaan Marga Di Bawah Pimpinan I Gusti Agung Balangan
Ida I Gusti Agung Balangan memerintah sangat bijaksana dan cukup beribawa, sehingga segala perintah ditaati penuh kepatuhan oleh patih, pemekel, beserta rakyat. Disamping bijaksana beliau juga senang bertapa.

Ketika beliau bertapa digunung Pangelengan, oleh Sanghyang Dewata Agung beliau dianugerahi sebilah keris bernama Baru Opas. Melalui saktinya keris Baru Opas itu kerajaan Marga menjadi termahsyur. Sehingga raja Tabanan memberikan kepercayaan dalam berperan serta mengajak kerjasama dalam mempertahankan wilayah. Kesempatan tersebut dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ida I Gusti Agung Balangan.

Ida I Gusti Agung Balangan Berjasa Menyelamatkan Keturunan Raja Mengwi.
Pada suatu ketika Ida I Gusti Agung Balangan berkunjung ke kerajaan Tabanan. Beliau melihat ada seorang tawanan perang bernama I Gusti Agung Putu. I Gusti Agung Putu adalah satu-satunya keturunan raja Mengwi yang masih hidup dalam peperangan penyerangan kerajaan Tabanan bersama kerajaan Badung terhadap kerajaan Mengwi.

Ida I Gusti Agung Balangan merasa iba dengan keadaan I Gusti Agung Putu, hingga memohon kerelaan raja Tabanan agar menyerahkan I Gusti Agung Putu untuk dipelihara di Puri Marga. Permintan tersebut dikabulkan oleh raja Tabanan.

I Gusti Agung Putu setelah berada di Puri Marga diajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan. Setelah digembleng berbagai pengetahuan spiritual, I Gusti Agung Putu diajak bertapa di Pucak Mangu gunung Pangelengan. Atas kemurahan Ida Bhatara yang bersthana disana, I Gusti Agung Putu memperoleh anugerah jimat kesaktian.

Raja Marga/I Gusti Agung Balangan menganggap I Gusti Agung Putu telah lulus ujian.
I Gusti Agung Putu dipersilahkan pergi meninggalkan Puri Marga dan diijinkan mendiami daerah bagian selatan Marga.I Gusti Agung Balangan memberikan I Gusti Agung Putu iringan bala-ayu atau pasukan yang paling bagus/tangguh.
Sesuai dengan iringan pasukan miliknya, daerah yang didiami oleh I Gusti Agung Putu diberi nama Bala Ayu atau Belayu.

Dengan bermodalkan pasukan pemberian raja Marga dan jimat kesaktian anugerah Ida Bhatara Pucak Mangu, I Gusti Agung Putu berhasil merebut daerah Mengwi dan mendirikan Kerajaan Mengwi yang luas wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Belambangan.

Daerah Belayu yang kosong setelah ditinggalkan oleh I Gusti Agung Putu ke Mengwi, kemudian diisi oleh I Gusti Celuk (adik dari raja Marga/I Gusti Agung Balangan) dengan menjadikannya kerajaan Belayu.

Perang Saudara Antara Kerajaan Marga Dan Kerajaan Perean
Pada suatu ketika raja Perean/I Gusti Anda melakukan kesalahan fatal, melarang kakaknya I Gusti Agung Balangan/raja Marga memasuki wilayah kerajaan Perean. Walaupun I Gusti Agung Balangan datang ke Perean sekedar untuk melaksanakan persembahyangan di Pemerajan Agung Perean.
Larangan itu menimbulkan murka I Gusti Agung Balangan yang mengirim pasukan perang menyerang kerajaan Perean. Pertempuran pun tidak terelakkan terjadi, mengakibatkan tewasnya I Gusti Anda.

I Gusti Agung Balangan Sebagai Penguasa Kerajaan Marga Dan Perean
Dengan wafatnya raja Perean/I Gusti Anda, daerah Perean menjadi milik I Gusti Agung Balangan. Beliau merangkap jabatan sebagai penguasa Marga sekaligus Perean, menata pemerintahan bersama patih, manca dan pemekel.

I Gusti Agung Balangan melakukan perbaikan serta pembangunan sarana-sarana keagamaan. Salah satunya memperluas dan menyempurnakan kelengkapan pelinggih Pura Pucak Padang Dawa dengan membangun Pura Penataran Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem Purwa.

I Gusti Agung Balangan mempunyai tiga (3) putera dan satu (1) orang puteri;

I Gusti Agung Lemo Peninggi, dinobatkan menjadi raja Marga.
I Gusti Made Semija, dinobatkan menjadi raja Perean.
I Gusti Tembau berada di Kerajaan Belayu.
I Gusti Semirang (putri), kawin ke Puri Mengwi. Raja Perean/I Gusti Agung Made Semija setelah wafat digantikan putra beliau yang bernama I Gusti Agung Murda.
Selanjutnya I Gusti Agung Murda berputera I Gusti Agung Ketut Oka Nataratu mengantikannya menjadi raja Perean.

Kerajaan Marga dan Perean Kembali Terjadi Perang Saudara
I Gusti Agung Ketut Oka Nataratu/raja Perean mengambil istri dari Jero Pasek, melahirkan putera bernama I Gusti Made Pasek yang selanjutnya menggantikannya menjadi raja di Perean.

Saat daerah Perean dipimpin oleh I Gusti Made Pasek, Kerajaan Marga bermusuhan dengan Kerajaan Mengwi yang disebabkan oleh;


Raja Mengwi memalsu keris Baru Opas milik Kerajaan Marga, anugerah dari Bhatara Hyang Agung gunung Pangelengan.
Raja Mengwi berkeinginan memperluas kekuasaannya dengan menjarah daerah milik kekuasaan Kerajaan Marga.Dalam situasi tersebut I Gusti Made Pasek/raja Perean berpihak kepada kerajaan Mengwi, menyebabkan amarah dari raja Marga.
Kerajaan Marga menggempur kerajaan Perean habis-habisan, yang berkesudahan dengan kekalahan kerajaan Perean.

I Gusti Made Pasek dapat meloloskan diri, tetapi beberapa hari kemudian sudah ditemukan tewas diwilayah Puri Tabanan.
Seorang putera dari I Gusti Made Pasek yang masih bayi dapat diselamatkan oleh seorang abdi Kerajaan, diungsikan ke dusun Tinungan.

Kerajaan Perean Dipimpin Oleh I Gusti Agung N Gede Dari Kerajaan Marga
Dengan tewasnya I Gusti Made Pasek/raja Perean, menyebabkan di Perean terjadi kekosongan pemerintahan/tanpa raja.

Di Puri Marga, Raja Marga/I Gusti Agung Ketut Geria Nataratu mempunyai empat (4) orang putera;

I Gusti Agung N Gede
I Gusti Agung Gede Putera
I Gusti Putu Pemayun
I Gusti Made Batu.Untuk mengisi kekosongan kerajaan Perean, I Gusti Agung Ketut Geria Nataratu/raja Marga memerintahkan putera tertua beliau I Gusti Agung N Gede untuk menempati singgasana Perean.
I Gusti Agung N Gede mau menuruti kemauan ayahandanya menjadi raja di Perean dengan persyaratan sebagai berikut;

Kerajaan Perean keberadaannya tidak dibawah kekuasaan Kerajaan Marga, mempunyai kedudukan dan derajat yang sama.
Hak dan kewajiban Kerajaan Perean sama dengan Kerajaan Marga.
Diperkenankan ke Perean membawa beberapa orang-orang terbaik, pintar dan tangguh milik kerajaan Marga.Seluruh syarat permintaannya terpenuhi, akhirnya I Gusti Agung N Gede pergi meninggalkan kerajaan Marga menuju Perean. Dinobatkan menjadi raja Perean, Ngabiseka Ratu pada tahun 1881.




I Gusti Agung N Gede Raja Perean Th 1881

Batas-batas wilayah kekuasaan Kerajaan Perean yang telah disepakati bersama Kerajaan Marga:

Sebelah Utara Desa Candi Kuning
Sebelah Timur sungai/Tukad Penet
Sebelah Selatan Dusun Selat
Sebelah Barat sungai/Tukad Sungi.Puri Perean Diabih Oleh Bhagawanta, Premenak Dan Pemekel.
Bhagawanta Puri Perean ialah Griya Baler Puri, merupakan keturunan trah Ida Pedanda Batu Lumbang.
Para Pengabih Kiwa-Tengen Puri Perean terdiri dari enam (6) Premenak;

Premenak Jero Pasek
Premenak Jero Delod Peken
Premenak Jero Kawan
Premenak Jero Semingan
Premenak Jero Tuka
Premenak Jero BanjarPemekel pengabih Puri Perean adalah;

Pemekel Perean
Pemekel Luwus
Pemekel Pacung
Pemekel BaturitiPemerajan Peninggalan Arya Beleteng/Pinatih Pemeliharaannya Diserahkan kepada empat (4) Premenak.
Berdasarkan pesan/amanat dari leluhur dan para pengelingsirnya yaitu setelah berkuasa di Perean nanti, agar tidak menelantarkan Pemerajan peninggalan Arya Beleteng, yang letaknya berdampingan sebelah barat Pemerajan Agung Perean.
Raja Perean/I Gusti Agung N Gede tidak berani (alpaka) melanggar amanat tersebut, yang menugaskan (ngamong) pemeliharaan Pemerajan tersebut kepada empat (4) Premenak pengabih Puri Perean, dengan disertai hak dan kewajiban.

Empat (4) Premenak tersebut adalah;

Jero Pasek
Jero Tuka
Jero Banjar
Jero Semingan Untuk Memudahkan Pemerintahannya, I Gusti Agung N Gede Membagikan Tugas Masing-Masing Desa Adat Tanggung Jawab Pemeliharaan Pura-Pura Yang Ada Di Perean.

Desa Adat Bunyuh ditugaskan/bertanggung jawab penuh fisik dan non fisik Pura Tri Kahyangan dan Pura-Pura lainnya yang ada di Bunyuh, dengan diberikan Tanah Duwe Pelaba Pura (DPP).
Banjar Adat Perean ditugaskan/bertanggung jawab penuh fisik non fisik Pura Dalem Perean, dengan diberikan tanah Duwe Pelaba Pura (DPP).
Banjar Adat Puseh ditugaskan/bertanggung jawab penuh fisik dan non fisik Pura Tegeh dan Pura-Pura lainnya yang ada di Puseh, dengan diberikan Tanah Duwe Pelaba Pura (DPP).
Banjar Adat Penyucuk yaitu pengayah Nyucuk atau Ngarep ditugaskan/bertanggung jawab penuh fisik dan non fisik Pura Dalem Melanting, dengan diberikan Tanah Duwe Pelaba Pura (DPP).Untuk Kahyangan Pura Puseh, Desa, Bale Agung Perean, ditugaskan tanggung jawab pemeliharaanya kepada tiga Banjar yaitu banjar Perean, banjar Puseh dan banjar Penyucuk. Juga dibekali/diberikan tanah Duwe Pelaba Pura (DPP).

I Gusti Agung N Gede Membuatkan Tapakan Nawa Sanga Di Pura Pucak Bukit Kembar.
Pada tahun 1885, berawal dari Krama Subak Poyan/Peneng dengan anggota berjumlah 200 kepala keluarga berkehendak membuat empelan (empangan). Tetapi dalam usahanya membuat empelan tersebut selalu mengalami kegagalan.

Maka dari itu Krama Subak Poyan/Peneng bersama Pemekel Luwus dan Pemekel Pacung memutuskan tangkil ke Puri Perean, menghadap kepada raja Perean/I Gusti Agung N Gede.
Memohon kesediaan I Gusti Agung N Gede supaya berkenan lunga (pergi) ke tempat pembuatan empelan. Setelah kata mufakat tercapai, maka I Gusti Agung N Gede bersama Krama Subak Poyan/Peneng menuju ke pembuatan empelan.

Sebelum Krama Subak Poyan/Peneng memulai pekerjaannya membuat empelan, raja Perean/I Gusti Agung N Gede melaksanakan tapa semadi di Pura Pucak Bukit Kembar memohon kehadapan Ida Bhatara agar pekerjaan membuat empelan dapat berhasil.
Didalam tapa semadi tersebut, terdengar Ida Bhatara Pucak Rsi, Ida Bhatara Trate Bang dan Ida Bhatara Bratan bersabda;
'Apabila ingin pembuatan empelan itu dapat berhasil, di Pura Pucak Bukit Kembar supaya disthana linggakan Tapakan Nawa Sanga'

I Gusti Agung N Gede menyanggupi isi sabda tersebut. Dan pekerjaan pembuatan empelan Krama Subak Poyan/Peneng berhasil terwujud dengan sempurna. Karena sudah terbukti demikian, maka I Gusti Agung N Gede memerintahkan Pemekel Pacung dan Krama Pemaksan untuk membuatkan Prelingga Tapakan Nawa Sanga dan Baris Manca Warna, di Pura Pucak Bukit Kembar, Pacung.

Tapakan Nawa Sanga terdiri dari sembilan (9) sesuai dengan situs Pengideran;

Anoman; warnanya Putih, perwujudan Sanghyang Iswara, letaknya di Timur.
Menda; warnanya Merah Muda, perwujudan Sanghyang Maheswara, letaknya di Tenggara.
Anggada dan Anala; warnanya Merah, perwujudan Sanghyang Brahma, letaknya di Selatan.
Sugriwa; warnanya Jingga, perwujudan Sanghyang, letaknya di Barat Daya.
Sangut; warnanya Kuning, perwujudan Sanghyang Mahadewa, letaknya di Barat.
Anila; warnanya Wilis, perwujudan Sanghyang Sangkara, letaknya di Barat Laut.
Delem; warnanya Hitam, perwujudan Sanghyang Wisnu, letaknya di Utara.
Rahwana; warnanya Abu-abu, perwujudan Sanghyang Sambu, letaknya di Timur Laut.
Rahwana; warnanya Manca Warna, perwujudan Sanghyang Ciwa, letaknya di Tengah. Rahwana mengisi dua tempat seperti tersebut diatas, karena hal ini sangat relevan dengan konsepsi Sad Winayaka yaitu Sambu sebagai Ciwa atau sebaliknya. Menokohkan Rahwana di pihak A Dharma dan Wre (kera) dipihak Dharma, sebagaimana halnya sama dengan Barong dan Rangda.

I Gusti Agung N Gede Mempunyai Dua Puluh Satu (21) Orang Istri.
Sebagai seorang raja, I Gusti Agung N Gede mempunyai istri berjumlah dua puluh satu (21) orang diantaranya;

Mekel Sana, dari banjar Kikik Marga.
I Gusti Agung Rai, dari Jero kawan Marga.
I Gusti Made, dari Jero Jelantik
Sayu Made, dari banjar Tengah Marga.
Mekel Sigaran, dari banjar Baturiti
Mekel Latya, dari banjar Pacung Baturiti
Mekel Remani, dari banjar Kukub Perean
Mekel Remana, dari banjar Kukub Perean
Mekel Segari, dari banjar Tua Marga
Siluh Made Ayu, dari Jero Dajan Prigi Perean
Mekel Surya, dari banjar Belah Luwus
Mekel Segara, dari banjar Cau Marga
Mekel Cemara, dari banjar Mojan Luwus
Mekel Serangan, dari banjar Basa Marga
Mekel Plaga, dari banjar Beng Marga
Mekel Candi, dari banjar Lebah Marga
Mekel Mirim, dari banjar Bugbugan Marga
Mekel Slupa, dari arahan Tusian Perean
Mekel Meduri, dari banjar Kukub Perean
Mekel Pidada, dari banjar Bunyuh Perean
Desak Biyang, dari banjar Beng MargaDari 21 rabi/istri I Gusti Agung N Gede, hanya 12 rabi yang mempunyai/melahirkan putera-puteri;

Mekel Sana melahirkan Ni Gusti Agung Kompyang dan I Gusti Agung Alit bertempat di Saren Kangin.
Mekel Plaga melahirkan Ni Gusti Kt Sumpang, kawin ke Jero Kuwum.
Mekel Sigaran melahirkan I Gusti Agung Putu Pengkuh bertempat di Saren Kauh dan I Gusti Agung Rai bertempat di Saren Tandakan.
Mekel Latya melahirkan I Gusti Agung Made Kunci bertempat di Saren Kelod.
Mekel Remani melahirkan I Gusti Agung Made Kuno bertempat di Saren Lebah.
Mekel Remana melahirkan I Gusti Agung Ketut Sidikarya bertempat di Saren Kangin.
Mekel Segari melahirkan Ni Gusti Agung Putu, kawin ke Jero Beng Marga.
Siluh Made Ayu melahirkan Ni Gusti Putu Candu, kawin ke Griya Baler Puri.
Mekel Suntya melahirkan Ni Gusti Agung Ketut Botor, kawin ke Griya Baler Puri.
Mekel Segara melahirkan Ni Gusti Agung Alit, kawin ke Jero Tinungan.
Mekel Cemara melahirkan NI Gusti Agung Raka, kawin ke Jero Oka Marga.
Mekel Serangan melahirkan Ni Gusti Agung Alit, kawin ke Jero Kanginan Belayu.





I Gusti Agung Pt Pengkuh ( Saren Kauh) & Keluarga



I Gusti Agung Alit ( Saren Kangin) & Keluarga

Dengan demikian Warih Ida Bhatara Sinuhun Arya Sentong yang ada di Puri Ageng Perean menjadi 5 (lima) pokok/sumber keturunan;
  
I Gusti Agung Putu Pengkuh, di Saren Kauh,
I Gusti Agung Alit, di Saren Kangin
I Gusti Agung Rai, di Saren Tandakan,
I Gusti Agung Made Kunci, di Saren Kelod
I Gusti Agung Made Kuno, di Saren Lebah
Untuk putera-putera I Gusti Agung Putu Pengkuh yang ada Saren Kauh dikarenakan jumlahnya banyak, menyebar ke sebelah barat Puri dengan membuat Saren Taman dan Saren Kaja Kauh.

SUMBER: http://babadpuriagengperean.blogspot.com/2012/10/babad-puri-perean-kecamatan-baturiti.html

Posting Komentar untuk "Silsilah Keturunan Arya Sentong Di Puri Ageng Perean"